Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika Penerbit
ISBN : 978-602-8997-71-3
Tebal : xxviii + 321 halaman
Tahun Terbit : 2013
Cetakan : Pertama
Apa yang kamu ketahui tentang HAMKA? Hanya sebatas pengarang Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk? Atau seorang ulama yang pernah menjadi Ketua Umum MUI? Ataaauu....
Nah di buku ini kamu akan mengenal keseharian Buya Hamka. Masa kecil, remaja, dewasa sampai berkeluarga; dan itu langsung diceritakan oleh salah seorang anak beliau, Irfan Hamka.
Buku ini terbagi menjadi sepuluh bab yang berisi pengalaman-pengalaman hidup dan spiritual sang anak bersama sang legenda. Hamka merupakan salah satu ulama besar Indonesia yang berperan penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Beliau tidak hanya ulama, namun juga sastrawan yang dihormati di zamannya, beliau juga budayawan dan politisi yang turut berjasa bagi bangsa ini. Beliau menjadi tahanan politik selama 2 tahun 4 bulan di masa Soekarno. Di dalam tahanan inilah beliau menyelesaikan karya fenomenalnya Tafsir Al Azhar. Hubungan Hamka dan Soekarno termasuk unik. Di kala menjelang wafatnya, Soekarno berpesan, "Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku." Hamka tak dendam, ia turuti permintaan terakhir sang presiden.
![]() |
Buya Hamka |
Layaknya karya sastra sastrawan melayu dulu, karya-karya Hamka bagi saya sangat dalam dan menyentuh. Tulisan-tulisannya lembut dan sarat makna dan petuah. Sayang, saat ini tidak banyak ditemukan tulisan-tulisan beliau. Sepanjang informasi yang saya dapat, penerbit resmi karya-karya Hamka, Panjimas, sedang kesulitan untuk menerbitkan karya-karya beliau lagi. Buku ini bagi saya menjadi pemuas dahaga saya akan nasihat-nasihat beliau. Agaknya terpenuhi lah rasa penasaran saya bagaimana Hamka pada masa hidupnya.
Terakhir, agaknya bagus juga kalau saya kutipkan salah satu dialog di buku ini, biar pada penasaran dengan bukunya...
"Apa dasar pegangan hidup Ayah? Banyak orang bertanya, apa yang membuat Ayah begitu gigih dalam menjalankan kehidupan dan perjuangan?" tanyaku pada Ayah.
"Ada dasar perjuangan Ayah. Pertama, Ayah sangat menghayati sebuah pantun yang digubah oleh Datuk Paduko Alam dalam buku Rancak di Labuah. Bunyinya,
Putuslah tali layang-layang
Robek kertasnya dekat bingkai
Hidup jangan mengepalang
Tidak punya, berani pakai
pantun itu selalu membakar darah Ayah dalam perjuangan."
"Kedua, Ayah tidak tamat sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah agama. Ayah merasa malu tidak punya diploma. Ayah harus mengejar ketertinggalan itu dengan belajar sendiri. Ayah harus berani menghadapinya."
"Pegangan hidup Ayah yang lain dalam menghadapi perjuangan hidup ini adalah, niat karena Allah, nasi sabungkuih, dan tinju gadang ciek. Artinya, niat karena Allah harus diyakini, tidak terombang-ambing dengan niat yang lain. Kegiatan apapun yang kita lakukan, jangan lupa kesiapan logistik. Sekecil apapun, walau hanya sebungkus nasi. dan yang terakhir, jangna pernah merasa takut, gentar dan mudah menyerah. Harus tegas dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan berpikir jernih. Itu diibaratkan dengan sebuah tinju yang besar."
Begitulah Hamka. Tiga pegangan hidupnya itu membawanya menjadi ulama dan sastrawan yang disegani dan dikenang zaman. Penasaran dengan kisah dan petuah beliau yang lain? Silakan baca bukunya :)
Selamat membaca ...
No comments:
Post a Comment